Arsip Blog

Rabu, 18 April 2012

♥ Bismillahirrahmaanirrahiim ♥

-=][ Keadaan Mayit Setelah Dikuburkan ][=-

♥ Bismillahirrahmaanirrahiim

Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya apabila mayit telah dikuburkan, dia mendengar derap alas kaki orang yang mengantarkannya ketika kembali dari tempat pemakaman.

Jika dia seorang mukmin, maka ibadah shalat akan berada di kepalanya, puasa berada di samping kanannya, zakat di sebelah kirinya, sementara seluruh perbuatan baiknya seperti sedekah, silaturrahim, amalan yang ma’ruf dan perlakuan baiknya kepada manusia berada di kedua kakinya.

Lantas ia didatangi dari arah kepalanya, sehingga amalan shalat berkata, ‘Tidak ada tempat dari arahku (untuk mengganggu orang ini).’ Dia juga didatangi dari sebelah kanan sehingga amalan puasanya berkata, ‘Tidak ada tempat dari arahku (untuk mengganggu orang ini).’ Ia kembali didatangi dari arah kiri, sehingga amalan zakatnya berkata, ‘Tidak ada tempat dari arahku (untuk mengganggu orang ini).’ Kemudian ia didatangi dari arah kedua kakinya, sehingga segala perbuatan yang baik, seperti sedekah, silaturrahim amalan yang ma’ruf dan perlakuan kepada manusia berkata, ‘Tidak ada tempat dari arahku (untuk mengganggu orang ini).’

Kemudian dikatakan kepadanya, ‘Duduklah dengan tenang!’ Orang mukmin itu duduk dan ia diibaratkan seperti matahari yang tenggelam. Para malaikat bertanya kepadanya, ‘Apa yang telah kamu katakan tentang lelaki yang diutus kepada kalian (yang dimaksud adalah Nabi Muhammad)? apa yang engkau persaksikan atasnya? Orang mukmin itu menjawab, ‘Berilah aku kesempatan untuk mengerjakan shalat terlebih dahulu.’ Dikatakan kepadanya, ‘Engkau boleh mengerjakannya, tetapi jawablah terlebih dahulu pertanyaan yang kami ajukan kepadamu, ‘Apa pendapatmu tentang seorang lelaki yang berada di tengah-tengahmu, apa komentarmu? Apa yang engkau persaksikan atasnya?’

Orang mukmin itu menjawab, ‘Lelaki itu adalah Muhammad, aku bersaksi bahwa dia itu Rasulullah , dia telah datang kepada kami dengan membawa kebenaran dari sisi Allah.’

Dikatakan kepadanya, ‘Ya, kamu benar, kamu telah hidup berdasarkan keyakinan ini, meninggal dunia juga dengan keyakinan ini dan akan dibangkitkan berdasarkan keyakinan ini Insya Allah.’

Lantas dibukakan untuknya salah satu dari beberapa pintu surga, kemudian dikatakan kepadanya, ‘Inilah tempat tinggalmu dan segala isinya yang telah dipersiapkan Allah untukmu.’ Maka dia merasa lebih bahagia dan gembira. Selanjutnya dibukakan untuknya salah satu dari beberapa pintu neraka, sambil dikatakan, ‘Inilah tempat tinggalmu dengan segala isinya yang telah dipersiapkan Allah jika kamu berbuat maksiat kepadanya.’ Dia semakin merasa gembira dan bahagia (karena tidak termasuk golongan ahli maksiat).

Kemudian kuburannya dilapangkan sepanjang 70 hasta, diberikan lampu penerang dan jasadnya dikembalikan seperti semula, dan ruhnya diletakkan ke dalam burung yang bertengger di atas pohon dalam surga. Itulah yang dimaksud dengan firman Allah,

‘Allah meneguhkan iman orang-orang yang beriman dengan al qauluts tsabit (ucapan yang teguh) dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.’ (Ibrahim: 27).

Namun apabila orang tersebut kafir, maka ia akan didatangi di kuburnya dari arah kepalanya dan ia tidak menemukan suatu kebaikan apapun (yang bisa melindunginya). Kemudian didatangi dari sebelah kanannya, dan ia tidak menemukan kebaikan apapun (yang bisa melindunginya). Lalu didatangi dari bagian kedua kakinya, ia juga tidak menemukan kebaikan apapun.

Lantas dikatakan kepadanya, ‘Duduklah,’ kemudian ia duduk dengan perasaan takut dan gelisah. Lalu ditanyakan kepadanya, ‘Apa yang dulu kamu katakan tentang laki-laki yang berada di tengah-tengah kalian?’

Ia tidak diberi petunjuk tentang nama lelaki itu (bahwa lelaki tersebut adalah Muhammad shallallohu ‘alaihi wasallam). Orang kafir itu menjawab, ‘Aku tidak tahu, memang aku dulu mendengar orang-orang telah mengatakan sesuatu, sehingga aku ikut-ikutan mengatakan apa yang mereka katakan.’

Lalu dikatakan kepadanya, ‘Berdasarkan ketidaktahuan (keraguan) inilah kamu telah menjalani hidup, dan berdasarkan (keraguan) inilah kamu mati, serta berdasarkan (keraguan) inilah kamu akan dibangkitkan (dari kubur) Insya Allah.’

Kemudian dibukakan untuknya salah satu pintu dari pintu-pintu neraka, dan dikatakan kepadanya, ‘Inilah tempat tinggalmu di neraka dengan segala isinya yang telah dipersiapkan Allah untukmu.’ Dan ia merasa lebih rugi dan menyesal. Kemudian dibukakan untuknya salah satu pintu dari pintu-pintu surga, dan dikatakan kepadanya, Inilah tempat tinggalmu di surga jika kamu taat kepada Allah.’ Maka ia menjadi semakin rugi dan menyesal (karena tidak termasuk ahli taat).

Kemudian disempitkan kuburannya hingga tulang-tulang rusuknya saling bertindih dan menjadi ringsek. Itulah kehidupan sempit sebagaimana yang dimaksud dalam firman Allah,

‘Dan barangsiapa berpaling dari peringatanku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit.’ (Thaha: 124).” [ HR. Ibnu Hibban, 777; Mawarid al-Hakim, 1/379.]

[Sumber: Sittuna Qishshah Rawaha an-Nabi wash Shahabah al-Kiram, Syaikh Muhammad bin Hamid Abdul Wahab, Edisi Indonesia: 61 KISAH PENGANTAR TIDUR, Pent. Darul Haq Jakarta] [alsofwah.or.id]
______________________________________________

Kerusakan Hati

 Indonesia Sejahtera


Penyebab utama kerusakan hati adalah :

1. Tidur terlalu malam dan bangun terlalu siang adalah penyebab paling utama.
2. Tidak buang air besar pada pagi hari.
3. Pola makan yang terlalu berlebihan (Daging panggang, sate, dan gorengan / minyak goreng yang tidak sehat. Sedapat mungkin kurangi penggunaan minyak goreng untuk menggoreng makanan, hal ini juga berlaku meski menggunakan minyak goreng terbaik sekalipun seperti olive oil....) Masakan yang digoreng harus dimakan habis saat itu juga, jangan disimpan..
4. Tidak makan pagi.
5. Terlalu banyak mengkonsumsi obat-obatan atau bahkan Narkoba.
6.. Terlalu banyak mengkonsumsi bahan pengawet, zat tambahan (penyedap rasa), zat pewarna, pemanis buatan.
7. Mengkonsumsi masakan mentah atau dimasak ½ matang.
8. Merokok atau menjadi perokok pasif.
Kita harus melakukan pencegahan dengan tanpa mengeluarkan biaya tambahan. Cukup atur gaya hidup dan pola makan sehari – hari. Perawatan dari pola makan dan kondisi waktu sangat diperlukan agar tubuh kita dapat melakukan penyerapan dan pembuangan zat-zat yang tidak berguna sesuai dengan “jadwalnya “.

Sebab :

Ø Malam hari pk 21.00 – 23.00 : adalah pembuangan zat-zat tidak berguna/beracun(de-toxin) dibagian system antibody (kelenjar getah bening). Selama durasi waktu ini seharusnya dilalui dengan suasana tenang atau mendengarkan musik (lebih baik lagi bila sudah tidur) . Bila saat itu seorang ibu rumah tangga masih dalam kondisi yang tidak santai seperti misalnya mencuci piring atau mengawasi anak belajar, hal ini dapat berdampak negative untuk kesehatan.

Ø Malam hari pk 23.00 – dini hari 01.00 : saat proses de-toxin dibagian hati, harus berlangsung dalam kondisi tidur pulas.

Ø Dini hari 01.00 - 03.00 : proses de-toxin dibagian empedu, juga berlangsung dalam kondisi tidur pulas.

Ø Dini hari 03.00 – 05.00 : de-toxin dibagian paru-paru, sebab itu akan terjadi batuk yang hebat bagi penderita batuk selam durasi waktu ini. Karena proses pembersihan (de-toxin) telah mencapai saluran pernapasan, maka tidak perlu minum obat batuk agar supaya tidak merintangi proses pembuangan kotoran.. Bagi perokok pembersihan berlangsung dengan tidak sempurna.

Ø Pagi pk 05.00 – 07.00 : de-toxin di bagian usus besar, harus buang air besar.

Ø Pagi pk 07.00 – 09.00 : waktu penyerapan gizi makanan bagi usus kecil, harus makan pagi. Bagi orang yang sakit sebaiknya makan lebih pagi yaitu sebelum pk 06.30... Makan pagi sebelum pk 07...30 sangat baik bagi mereka yang ingin menjaga kesehatannya. Bagi mereka yang tidak makan pagi harap mengubah kebiasaannya ini, bahkan masih lebih baik terlambat makan pagi hingga pk 9-10 daripada tidak makan sama sekali.

Tidur terlalu malam dan bangun terlalu siang akan mengacaukan proses pembuangan zat-zat yang tidak berguna. Selain itu, dari tengah malam hingga pukul 4 dini hari adalah waktu bagi sumsum tulang belakang untuk memproduksi darah. Sebab itulah, Tidurlah Nyenyak dan Jangan Begadang.

QS 25 AL-FURQAAN:47. Dialah yang menjadikan untukmu malam (sebagai) pakaian, dan tidur untuk istirahat, dan Dia menjadikan siang untuk bangun berusaha.

Minggu, 15 April 2012

Etika Terhadap yang sedang melantunkan bacaan Al-qur'an

"Dan apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat," (Al-A’raf : 204).

"Kalau sekiranya kami turunkan Al-Qur'an Ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. dan perumpamaan-perumpamaan itu kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir," (Al-Hasyr : 21).

"Dan sekiranya ada suatu bacaan (Kitab suci) yang dengan bacaan itu gunung-gunung dapat digoncangkan atau bumi jadi terbelah atau oleh karenanya orang-orang yang sudah mati dapat berbicara, (tentulah Al-Qur'an itulah dia). Sebenarnya segala urusan itu adalah kepunyaan Allah. Maka Tidakkah orang-orang yang beriman itu mengetahui bahwa seandainya Allah menghendaki (semua manusia beriman), tentu Allah memberi petunjuk kepada manusia semuanya. dan orang-orang yang kafir senantiasa ditimpa bencana disebabkan perbuatan mereka sendiri atau bencana itu terjadi dekat tempat kediaman mereka, sehingga datanglah janji Allah. Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji," (Ar-Ra’d: 31).



Al-Hasan ibn ‘Ali Radhiyallahu ‘Anhu berkata, "Sungguh, orang-orang sebelum kalian telah memandang Al-Qur’an laksana surat-surat (perintah) dari Rabb mereka, maka senantiasa mereka selami maknanya pada malam hari dan mereka menerapkannya di siang harinya."

Imam Al-Hasan Al-Bashri Rahimahullah berkata, "Sungguh, Al-Qur’an ini telah dibaca oleh budak-budak sahaya dan anak kecil yang tak mengerti apapun penafsirannya. Ketahuilah bahwa mentadabburi ayatnya tak lain adalah dengan mengikuti segala petunjuknya, tadabbur tak hanya sekedar menghafal huruf-hurufnya atau memelihara dari tindakan menyia-nyiakan batasannya. Sehingga ada seorang berkata sungguh aku telah membaca seluruh Qur’an dan tak ada satu huruf pun yang luput, sungguh demi Allah orang itu telah menggugurkan seluruh Qur’an karena Qur’an tak berbekas dan tak terlihat pengaruhnya pada akhlak dan amalnya!"

Abdullah ibn Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu berkata, "Sungguh, dahulu kami kesulitan menghafal ayat-ayat Al-Qur’an namun amat mudah bagi kami mengamalkannya. Dan sekarang, generasi setelah kami begitu mudahnya menghafal Al-Qur’an namun amat sulit bagi mereka mengamalkannya."

Abdullah ibn ‘Umar ibn Al-Khattab Radhiyallahu ‘Anhu berkata, "Kami telah mengalami masa yang panjang dalam perjuangan Islam, dan seorang dari kami telah ditanamkan keimanannya sebelum diajarkan Al-Qur’an, sehingga tatkala satu surah turun kepada Nabi Muhammad Saw maka ia langsung mempelajari dan mengamalkan halal-haram, perintah-larangan dan apa saja batasan agama yang harus dijaga. Lalu aku melihat banyak orang saat ini yang diajarkan Al-Qur’an sebelum ditanamkan keimanan dalam dirinya, sehingga ia mampu membaca Al-Qur’an dari awal hingga akhir dan tak mengerti apa-apa soal perintah dan larangan dan batasan apa saja yang mesti dipelihara."

Abdullah ibn ‘Abbas berkata, " Dahulu para qari dan penghafal Al-Qur’an adalah orang-orang yang diprioritaskan hadir dalam setiap persidangan dan permusyawaratan Khalifah ‘Umar ibn Al-Khattab, orang-orang tua dan para pemudanya.”

Yang Perlu Diperhatikan untuk Menjadi Istri Sholihah

Lihatlah pada diri engkau wahai Istri…


Apakah engkau sebagai tempat yang tenang bagi suamimu? Dia merasa tenang untuk datang kepada engkau setelah pergi dan berpisah, penat, capek dan lelah? Atau engkau menghindarkan diri untuk menemaninya, dan sangat berat bagimu untuk ikut menanggung kegalauan perasaannya?

Sesungguhnya keberadaanmu sebagai tempat yang tenang bagi suami, mengingatkan engkau agar bisa sebagai tempat istirahat baginya dalam segala sisi; menebarkan ketenangan di rumah, menyiapkan makanannya dan membersihkan rumahnya, sehingga dia tidaklah mendengarkan kecuali kebaikan. Dan matanya tidak melihat pada dirimu kecuali kebaikan.

Jika engkau menginginkan suami yang bisa menyejukkan matamu, maka jadilah penyejuk mata baginya. ‘Abdullah bin Ja’far berwasiat kepada putrinya pada hari pernikahannya, “Hindarilah olehmu sifat cemburu, karena merupakan kunci terjadinya perceraian. Jauhilah olehmu banyak mencela, karena akan menyebabkan kebencian. Pergunakanlah celak, karena merupakan perhiasan yang paling baik. Dan wewangian yang paling semerbak adalah air.”


Seorang ibu menasehati putrinya pada malam pernikahan, dia berkata, “Kamu wajib untuk qona’ah, mendengar dan taat, menjaga diri dan tenang. Jagalah kecintaan. peliharalah harta benda. Bantulah pekerjaannya. Kerjakan apa yang menyenangkannya. Simpanlah rahasianya. Jangan menentang perintahnya. Tutuplah cela dan sakunya. Cintailah dia ketika sudah tua. Jagalah lisanmu. Pilihlah tetanggamu. Dan kokohlah didalam keimananmu.”


Lalu di manakah engkau wahai wanita yang mulia dari wasiat-wasiat berharga ini untuk dipersembahkan kepada seorang suami yang disabdakan oleh Rosulullah,
                                                                   “Dia adalah surga dan nerakamu.”


Maka tidak sepantasnya bagi seorang istri untuk tertawa di hadapan suaminya ketika dia dalam keadaan marah. 
Dan tidak sepantasnya bagi seorang istri tatkala suaminya marah, dia tinggalkan dan tidak berusaha untuk menjadikannya ridha. Karena hal ini akan semakin menambah kemarahan suami.
Betapa banyak istri yang mempunyai tempat tersendiri di dalam hati suaminya karena dia selalu berusaha untuk mencintainya dan membuatnya ridha, sampaipun tatkala sang suami marah kepadanya dalam keadaan dia yang salah terhadap hak istrinya. Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang wanita-wanita kalian yang berada di surga? Yang penyayang, banyak anak dan banyak meminta maaf; yaitu wanita yang tatkala dizhalimi (oleh suaminya) mengatakan, ‘Ini tanganku berada di tanganmu, aku tidak akan merasakan ketenangan hingga engkau ridha’.”
Dan istri harus tahu bahwa membantu suami adalah wajib baginya. 
Wajib baginya untuk menaati suami dalam perkara yang halal. 
Adapun dalam perkara yang harom, maka tidak boleh menaatinya. 
Karena itu wajib baginya untuk mengerjakan apa yang dibutuhkan oleh suami dirumahnya, tunduk kepadanya dan tidak sombong.


Istri sholihah adalah yang mengetahui tentang agungnya kedudukan suami; dan besarnya hak suami atasnya. Maka dia akan berusaha keras untuk memberikan ketenangan dan kebahagiaan kepadanya.
Seorang istri hendaknya merenungkan sabda Rosulullah,
“Seandainya aku (boleh) memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain, niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya.”
Maka wajib bagi istri untuk melayani suami dengan baik, menjaga rahasianya dan memelihara hartanya, karena dia adalah orang yang diamanati. Jangan sampai membuka tirainya kepada selain suami.
Melembutkan hati anak-anak atasnya. Menghindari sikap keras dan kasar. Jika suami memberikan bantuan atau hadiah -misalnya-, maka berterimakasihlah atas perbuatannya dan memujinya dengan baik.
Jangan mencela apa yang dia berikan dan jangan mencaci apa yang dia kerjakan untuk istri dan anak-anaknya. Istri harus mencari tempat-tempat yang bisa menjadikan suami ridha, kemudian bergegas mengerjakannya.
Selalu membantu suami untuk menjaga diri dan menghindar dari fitnah. Maka jangan tinggalkan tempat tidur suaminya, menyingkir tidur sendirian. Nabi bersabda,
“Demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, tidaklah seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur, kemudian istri menolaknya, kecuali yang di langit akan marah kepada istri tersebut hingga suami ridha kepadanya.”
Maka temanilah suami di dunia dengan cara yang baik. Kerjakan apa yang disukai suami -meski dia tidak menyukainya-, dan tinggalkanlah apa yang tidak disukai suami -meski dia menyukainya- karena mengharap pahala dari Alloh, dan sadar bahwa suami adalah tamu yang sedang singgah di tempatnya dan hampir pergi meninggalkannya, maka janganlah disakiti baik dengan ucapan maupun perbuatan. Rosulullah bersabda,
“Tidaklah seorang istri menyakiti suaminya di dunia, kecuali istrinya dari bidadari berkata, ‘Jangan sakiti dia -semoga Alloh mencelakakan kamu-. Dia di sisimu hanyalah sekedar singgah, sebentar lagi akan meninggalkanmu menuju kami’.”
Ketahuilah bahwa wanita yang paling utama adalah yang selalu menganggap besar apa yang dilakukan oleh suaminya, meski perkara yang kecil.
Memuji di hadapan orang lain dengan kebaikan meski suami penuh dengan kekurangan. Dia percaya bahwa semua itu akan berakibat baik baginya. Dan akan menjadi pendorong bagi suaminya pada suatu hari nanti untuk merasakan kecintaan dan kasih sayang istri kepadanya.
Hendaklah bersih hatinya terhadap suaminya. Jika dia kurang di dalam memenuhi haknya, maka hendaklah dia pandai-pandai untuk menyampaikan hal tersebut dengan satu cara atau lainnya, tanpa menyakiti atau mencelanya, dengan mencari waktu yang tepat yang ketika itu pikiran suami sedang jernih dan lapang dada.
Kita memohon kepada Alloh agar menegakkan rumah-rumah kita di atas kebahagiaan. Dan kita memohon kepada Alloh agar menjadikan apa yang kita ucapkan ikhlas karena wajah-Nya Yang Mulia.


[Dinukil dari Kitab HARMONIS, Idaman Setiap Keluarga; Asy- Syaikh Salim Al-’Ajmi; Pustaka Salafiyah]
Sumber: http://ummfulanah.wordpress.com/2009/05/06/yang-perlu-diperhatikan-untuk-mjadi-istri-sholihah/

Ta’shil wa tathwir


Ta’shil Wa Tathwir
Oleh: KH. Hilmi Aminudin
Membicarakan asholah (orisinalitas) dakwah kita sebenarnya adalah sama dengan membicarakan asholah islamiyah, yang tidak memiliki mabadi’ kecuali mabadi imaniyah dan fikriyah yang bersumber dari Al-Quran. Asholah dakwah Islamiyah itulah yang dipakai asholah dakwah kita. Dia tidak mempunyai mabadi’- baik aqidiyah, fikriyah, atau minhajiyah-kecuali yang berlindung pada Al-qur’an dan As-sunnah.
Tapi betapapun luasnya pembahasan tentang asholah yang merupakan bagian kita untuk menyegarkan diri, salah satu keistimewaan dakwah kita, selain ruang lingkup yang tercakup dalam syumuliyah dan takamuliyah, juga keterpaduan perjuangan, tatanan, sistem yang kita anut sesuai dengan intergralitas dan keterpaduan ajaran Islam itu sendiri.
Selain itu, masalah syumuliyah dan takamuliyah itu lebih kepada pendekatan prinsipil. Ada hal lain yang bisa dilihat dari pendekatan operasional, yaitu kemampuan dakwah kita mewarisi nilai-nilai Islam dan nilai-nilai dakwah dari para Rasul dan anbiya, para sahabat Rodhiyallahi anhum dan juga para salafus shalihin. Bentuknya adalah kemampuan tawazun dalam melakukan langkah-langkah yang mutawazinah bainal khutuwat tathwiriyah (seimbang antara langkah-langkah orisinalitas dan langkah-langkah pengembangan). Ini salah satu tamayuz (keunggulan), yang sebetulnya merupakan tamayuz islami yang banyak diabaikan oleh gerakan-gerakan dakwah lain. Meskipun begitu, kita respek terhadap mereka, mengakui eksistensi perjuangan mereka sekaligus mengakui eksistensi perjuangan mereka sekaligus mengakui keikhlasan dan pengorbanan mereka di dalam berjuang. Tapi titik qudratu da’wah (kemampuan dakwah) dalam melangkah baina ta’shil wa thatwir di zaman modern ini menjadi tamayuz islami yang benar-benar kita upayakan untuk kita laksanakan secara konsisten.
Konsisten dalam menjaga ta’shil wa tahtwir ini sangat penting bagi keselamatan kita-baik sebagai pribadi, maupun sebagai jama’ah dakwah dan harokah. Sebab tanpa keseimbangan antara ta’shil dan tathwir sudah tentu akan banyak sekali menimbulkan penyimpangan-penyimpangan dakwah.
Kesyumuliyahan dan ketakamuliyahan dakwah kita tergambar dari pengelolaan bagaimana membangun hablum minallah dan hablum minannas yang baik. Ini sangat terkait dengan kemampuan kita menjaga keseimbangan dalam menjaga khutuwat ta’shiliyah yang bertitik berat pada utuhnya komitmen kita kepada Allah swt, Rasulullah SAW, kitab dan sunnah. Begitu juga konsistensi kita dalam membangun khutuwat tathwiriyah, titik beratnya adalah bagaimana membangun hablum minannas secara baik.
Kemampuan mengelola dakwah di sektor khutuwat ta’shiliyah- di dalam langkah-langkah orisinalitas dakwah kita- baik aqidiyah, fikriyah, manhajiyah- sekali lagi – dekat kepada konteks bagaimana keutuhan hubungan kita dengan Allah swt, baik dari sisi moral, ma’nawiyah, sisi ruhiyah yang dibentengi dengan sehatnya aqidah kita. Juga terjauhkannya dari syirik, besar atau kecil, yang nampak atau yang tersembunyi dan menyelinap dalam pikiran kita. Insya Allah dengan selalu memperhatikan khutuwat ta’shiliyah kita, keutuhan ruhiyah, fikriyah, manhajiyah kita akan terjaga dengan baik.

Agar mampu menjaga kesadaran pentingnya khutuwat ta’shiliyah, kita harus menyadari:
Manzilatul Insan (posisi manusia)
Pertama, posisi manusia sebagai makhluk. Ini penting disadari betapapun tingginya ilmu dan keulamaan kita, jabatan kita, baik di dalam jama’ah dakwah kita atau pun negara, atau dalam masyarakat. Menghidupkan kesadaran akan posisi sebagai makhluk sangat penting. Sebab, konteks sebagai makhluk adalah ketergantungannya kepada khaliq. Tidak satupun produk yang tidak memiliki ketergantungan kepada pembuatnya. Ini nampak sepele tapi sangat penting untuk menunjukkan kesadaran bahwa kita harus kembali kepada asholah bahwa manzilah kita dihadapan Allah SWT adalah sebagai makhluk. Oleh karena itu kita memiliki ketergantungan kepada khaliq. Ini merupakan modal dasar untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Kedua, kesadaran sebagai hamba. Ini penting dibangun, karena kalau sebagai makhluk tadi adanya ketergantungan secara mutlak, kalau dari segi penghambaan ini lebih kepada apresiasi dari berbagai keinginan, kehendak, dan rencana, yang sangat terkait grand design yang sudah ditentukan oleh Allah SWT. Sehingga kita tidak mempunyai kehendak apapun kecuali dengan apa yang telah dikehendaki oleh Allah SWT. Ayat Qur’an banyak menjelaskan sisi aqidah dari segi memusatkan kesatuan kehendak, keinginan, rencana-rencana segala sesuatu sesuai dengan irodat-Nya. Inilah tinjauan manusia sebagai hamba.
Ketiga, kesadaran manusia sebagai junud (prajurit). Sebagai prajurit, kita harus merasakan adanya jalur komando dari Allah dan Rasul-Nya yang mutlak. Ini adalah posisi kita sebagai prajurit yang senantiasa siap menerima komando.

Thabiat Insaniyah ( tabiat manusia )
Kesadaran akan tabiat insan. Artinya humanity by nature, yaitu kemanusian yang sesuai dengan tabiatnya yang diinginkan oleh Allah SWT. Kesadaran ini penting agar kita tidak terjebak kepada persepsi-persepsi yang mungkin timbul, yang seolah-olah tarbiyah itu akan mengangkat dan melepaskan kita dari kemanusian kita. Kita dididik melalui tarbiyah adalah untuk mengukuhkan kemanusian kita, bukan melepaskannya dari kemanusian. Bukan menuju kemuliaan yang sering diidentikkan dengan malaikat. Kita tetap jadi manusia tapi manusia seutuhnya, yang penting adalah bagaimana memenej kelebihan dan kekurangan yang kita miliki. Kita adalah manusia, anak Adam, yang diberi kehormatan, tapi tetap saja bisa lupa dan sering berbuat salah. Dengan kesadaran ini kita akan terjaga dari keghururan seperti Fir’aun yang merasa dirinya sebagai Tuhan, atau juga akan terjaga dari keputusasaan sehigga melumpuhkan semangat dakwah. Kita berjuang harus sesuai dengan fitrah, tabiat insaniyah, ataupun tabiat kauniyah  yang ada di diri kita, masyarakat, dan alam.

Khalifatul Insan (manusia sebagai Khalifah)
Penyebab kita diberi kemuliaan adalah karena adanya tugas yang besar yaitu khilafa, yang hakikatnya bagi semua orang. Kesadaran ini penting agar kita selalu on duty, merasa dalam tugas, tidak ada perasaan kita perlu cuti. Mungkin kita ada rehat. Ya rehat itu dalam rangka mengumpulkan potensi untuk melaksanakan tugas. Bukan berarti cuti secara total dengan tidak ada kaitannya dengan misi dan wazifah kita. Makanya dalam tarbiyah kita dikenal adanya rihlah dan mukhayam, dalam rangka membangun potensi agar inthilaqot dan langkah kita lebih kuat dan cepat lagi dalam melakukan akselerasi-akselerasi perjuangan kita
Jika kesadaran tentang manzilatul insan, thabiatul insan, dan wazhifatul insah tadi ada, upaya-upaya menuju ta’shiliyah akan senantiasa hidup. Efek negatif dari melemahnya khutuwat ta’shiliyah bisa dihindari.
Salah satu efek negatif melemahnya ta’shiliyah adalah pelarutan. Jika kita mengabaikan khutuwat ta’shiliyah, perjuangan dakwah kita akan mengalami pencairan dan pelarutan. Biasanya sebelum larut akan mencair terlebih dahulu. Sebelum mencair tidak akan melarut. Sebab madah jamidah (benda padat) itu sulit larut, tapi madah maiyah (benda cair) itu paling mudah larut. Sering saya ingatkan dalam era jamahiriyah ini dimana kita sering berinteraksi dengan manusia, terutama dalam pergaulan, pertama terjadi degradasi akibat banyak bersentuhan dengan manusia, beragam organisasi dan ideologi. Pertama, sekali lagi saya ingatkan, adalah tamayu’ khuluqi (pencairan akhlak).
Efek atau indikator yang paling menonjol dari tamayu’ dan idzabah ini adalah tasahul atau menggampangkan dan menyepelekan suatu pelanggaran. Kita memang harus toleran dalam efek negatif tarbiyah manusia, tetapi bukan menggampangkan. Hal ini harus ditindaklanjuti dengan ilaj (terapi) tarbawi. Alhamdulillah, selama ini jamaah dakwah kita selalu mewaspadainya melalui upaya tarbawiyah ataupun pengamatan Dewan Syariah serta pengamatan tandzimiah. Kita harus memperhatikan, baik kepada diri ataupun kepada yang lain yang berada di bawah pengawasan kita. Bila pelarutan ini terjadi, berawal dari tasahul lama-lama menjadi ibahiyah, segala hal boleh, dalilnya gampang dicari. Akhirnya mencari dalil tunggal, dalil darurat.
Selanjutnya yang harus diwaspadai adalah tamayu’ wal idzabah dalam ubudiyah di segi mahdhoh. Karena terlalu sibuk sehingga dalam sebulan nol shaum, nol tahajud. Walaupun dalam baramij tarbiyah ada program itu, tetapi itu sifatnya stimulant, yang diharapkan berbuah iradah dzatiyah (motivasi pribadi) atau tarbiyah dzatiyah (pembinaan pribadi) dengan amal dzati diluar program. Harus diwaspadai agar tamayu’ khuluqi dan tamayu’ wal idzabah ‘ubudiyah ini tidak timbul. 


Bila dibiarkan akan berlanjut pada idzabah fikriyah (pelarutan ideologi) – idealisme pemikiran jadi hilang dan kacau balau, mengambil fikroh kiri kanan dan meninggalkan manhaj.
Apabila sudah terkena idzabah khuluqiyah, idzabah ta’abudiyah, dan idzabah fikriyah, maka akan timbul idzabah aqidiyah. Awalnya mengakui kesejajaran aneka ragam keyakinan. Mula-mula di dalam memandang, misalnya, syiah dan sunni adalah sama saja. Terus berkembang keluar dengan menyamakan yang lain, komunis, sosialis, Islam sama saja untuk manusia-manusia juga. Keyakinan bahwa kebenaran mutlak hanya dalam Islam menjadi luntur. Memang semua ajaran ada kebenarannya tetapi tidak semuanya benar. Jika lemah dalam langkah-langkah asholah akan terjadi al-idzabiyah dan tamayu’ dalam berbagai sektor. Jika itu sudah terjadi pada suatu golongan, sudah tentu akan terjadi kehancuran dunia dan akhirat.
Jika ta’shiliyah tidak diimbangi dengan tathwiriyah akan menimbulkan tajamud (kebekuan). Mungkin akan merasa bahwa dirinya sajalah yang akan masuk surga dan yang lain dan kufur. Dengan begitu dia tidak akan dapat memanfaatkan pengalaman dan potensi orang lain. Ketika mutajamid ruhi, fikri akan sulit menerima masukan dari orang lain. Bila terjadi tajamud aqidi akan merasa, semuanya aqidah akan beres.
Memperhatikan idealitas, rasionalitas, dan realitas, seperti dijelaskan di atas sangatlah penting. Memperhatikan realitas saja akan melahirkan pragmatis. Memperhatikan idealitas saja akan menghasilkan perfectionist tetapi tidak bisa dilaksanakan. Memperhatikan rasionalitas saja akan melahirkan teori saja.
Kita harus mampu mengkomunikasikan rencana kita, baik secara internal maupun eksternal. Kemampuan mengkomunikasikan ini intinya ada pada qudrah mukhatabah: qaulan sadida atau kalimat yang tepat. Bisa tegas, lembut, sindiran dan lain-lain. Patokannya: khatibunnas ‘ala qadri uqulihim (bicaralah kepada manusia dalam bahasa mereka), dengan memperhatikan budaya, karena manusia adalah anak lingkungan. Sebagai da’i harus memilih qaulan sadida baik melalui pendekatan intelektual, budaya atau social. Pertama, akuilah keberadaannya, kemudian cari cara yang tepat mendekatinya. Dalam Al-qur’an ada ya ayyuhannas, ya ayyuhalladzina amanu.
Dengan pemilihan kata yang tepat yushlih lakum a’malakum. Menghasilkan kebaikan bagi diri sendiri atau pun orang lain, dan yang lebih besar lagi, ampunan Allah.


from al intima’ page 8-9. (Februari 2012 edition)