Namanya adalah Aisyah yang diberi julukan as-Shiddiq ‘perempuan yang
benar dan lurus’ dan masih banyak lagi julukan yang disematkan kepada
sosok wanita cerdas nan mulia ini. Akan tetapi, Rasulullah lebih sering
memanggilnya dengan Bintush-Shiddiq ‘putri dari laki-laki yang benar dan
lurus (Abu Bakar)’.
Aisyah kecil adalah seorang anak yang
cerdas. Tanda-tanda kecerdasannya itu terlihat dari perbuatan dan
perkataannnya seolah-olah menandakan masa depan yang cemerlang dan akan
melahirkan prestasi-prestasi besar. Akan tetapi, Aisyah kecil tetaplah
seorang bocah yang tidak lepas dari dorongan naluriyah sebagai seorang
bocah yang gemar bermain bersama teman-teman sepermainannya. Mainan yang
disukai Aisyah adalah boneka dan ayunan. Suatu hari Rasulullah
mendatangai Aisyah yang sedang asyik bermain boneka, di antara
boneka-boneka itu ada boneka yang mempunyai sayap di kedua sisinya.
Melihat boneka itu, Rasuulullah bertanya, “Apa ini, wahai Aisyah?”
“Kuda,” jawab Aisyah.
“Adakah kuda yang mempunyai dua sayap,” tanya Rasulullah kemudian.
“Bukankah
kuda Sulaiman memiliki banyak sayap,” jawab Aisyah. Rasulullah tertawa
mendengar jawaban Aisyah. Dari jawaban Aisyah tersebut terlihat akan
kecerdasan, kepolosan, dan pengetahuannya yang luas tentang pengetahuan.
Aisyah kecil bukanlah sosok yang biasa. Dia mampu mengingat dengan
baik apa yang terjadi masa kecilnya, termasuk hadits-hadits yang
didengarnya dari Rasulullah. Ia mampu memahami hadits-hadits itu,
meriwayatkannya, menyimpulkan, dan memberi penjelasan tentang
detail-detail hukum fiqih yang terkandung di dalamnya.
-----
Khadijah
binti Khuwailid merupakan istri pertama Rasulullah. Beliau adalah
wanita pertama yang beriman memeluk islam dan kemudian menjadi
pendamping terbaik Rasulullah di kala suka dan duka. Ketika penentangan
kaum kafir terhadap dakwah Islam, Rasulullah sangat membutuhkan
motivasi, hiburan, dan kekuatan, Khadijahlah yang selalu siap memberikan
segalanya. Oleh karena itu, ketika Khadijah berpulang ke rahmatullah,
Rasulullah merasakan duka yang amat mendalam. Hal itu membuat para
sahabat merisaukan kondisi Rasulullah yang tenggelam dalam duka. Suatu
hari, Kaulah binti Hakim (istri Utsman bin Mazh`un) mendatangi
Rasulullah dan bertanya, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau ingin
menikah lagi?”
“Dengan siapa?” tanya Rasulullah.
“Perempuan seperti apa yang ingin engkau nikahi, gadis atau janda?” tanyanya.
Rasulullah balik bertanya, “Siapa yang gadis dan siapa pula yang janda?”
“Jika
engkau menghendaki seorang janda, maka menikahlah dengan Saudah binti
Zam`ah. Jika engkau mengingini seorang gadis, maka menikahlah dengan
putri dari orang yang paling engkau cintai, Aisyah binti Abu Bakar,”
jelasnya.
“Kalau begitu sampaikanlah kepadanya,” kata Rasulullah.
Maka, Kaulah pun berangkat menuju kediaman Abu Bakar untuk menyampaikan
sebuah berita.
Dalam beberapa hadits, dikisahkan bahwa
Rasulullah pernah bermimpi didatangi oleh malaikat yang membawa secarik
kertas kain sutra. Rasulullah bertanya, “kain apakah ini?”
Malaikat pun menjawab, “Inilah istrimu?”
Maka, Rasulullah membuka kain itu dan ternyata gambar Aisyah tercetak di dalamnya.
Bukhari meriwayatkan kisah itu sebagai berikut. Rasulullah bersabda kepada Aisyah,
“Sebelum
menikahimu, aku pernah melihatmu dua kali di dalam mimipi. Aku melihat
malaikat membawa secarik kain yang terbuat dari sutra. Kukatakan
kepadanya, ‘Singkapkanlah.’ Malaikat itu pun menyingkapkannya. Dan
ternyata, kain itu memuat gambarmu. Lalu kukatakan, ‘Jika ini merupakan
ketentuan Allah, maka Dia pasti akan membuatnya terjadi.’ Pada
kesempatan lain, aku kembali melihatnya datang membawa secarik kain yang
terbuat dari sutra. Maka, kukatakan ‘Singkaplah’. Dan ternyata itu
memuat gambarmu. Lalu aku berkata, ‘Jika itu merupakan ketentuan Allah,
maka Dia pasti akan membuatnya terjadi.’” (HR Bukhari, Muslim, dan Ahmad)
Akhirnya,
Aisyah pun dinikahkan dengan Rasulullah. Ketika itu, Aisyah adalah
seorang gadis cilik yang masih kenakak-kanakan dan berusia enam tahun.
Dalam sebuah hadits, Asiyah menuturkan, “Rasulullah menikahiku ketika
aku berusia enam tahun. Dan kami mulai hidup bersama ketika usiaku
Sembilan tahun. Kami tiba di Madinah. Suatu hari, ketika aku sedang
asyik bermain ayunan bersama teman-temanku, ibuku tiba-tiba datang dan
berseru agar aku mendatanginya. Aku tidak tahu apa yang dia inginkan
dariku. Ia lalu menggandeng tanganku hingga ke depan pintu rumah sampai
aku terngah-engah. Setelah itu, aku menenangkan diri hingg napasku
normal kembali. Ketika aku memasuki rumah, banyak perempuan Anshar telah
berkumpul di sana. Mereka berkata kepadaku, ‘Semoga engkau memperoleh
kebaikan, berkah, dan nasib yang baik.’ Ibuku pun menyerahkanku kepada
mereka untuk mencuci rambutku dan merias wajahku. Tiba-tiba, aku
dikejutkan oleh masuknya Rasulullah ke dalam kamarku pagi itu. Lalu para
perempuan tadi menyerahkan diriku kepada baliau.” (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Darimi)
----
Tidak
ada waktu atau jam pelajaran tertentu bagi Aisyah untuk belajar kepada
Rasulullah. Ia tinggal bersama Rasulullah dan memiliki kesempatan untuk
menemani beliau sepanjang siang dan malam. Selain itu, majelis-majelis
ilmu dan dakwah selalu diadakan di Masjid Nabawi setiap hari, sementara
kamar Asiyah berdempetan dengan masjid. Setiap kali ada persoalan yang
tidak dia pahami selalu ditanyakannya kepada Rasulullah di rumah, namun
dalam beberapa kesempatan Aisyah berusaha mendekat ke masjid agar ia
dapat menyimak dengan jelas pelajaran yang disampaikan Rasulullah.
Sehari dalam seminggu, Rasulullah juga menyempatkan diri untuk mengajar
kaum perempuan. Dengan begitu, Aisyah memiliki kesempatan untuk
mempelajari sunnah-sunnah Rasulullah tentang berbagai ilmu pengetahuan.
Aisyah juga dikenal sebagai seseorang yang memiliki rasa ingin tahu
yang mendalam sehingga ia terkenal sebagai sosok seorang wanita yang
suka mengajukan pertanyaan dan tidak pernah merasa puas sebelum
persoalan terselesaikan. Ia melacak setiap hal hingga ke bagian-bagian
yang paling mendalam dan mendetail.
Rumah yang ditempati
Rasulullah bersama Aisyah bukanlah istana yang besar dan megah, namun
lebih tepat dikatakan sebagai kamar-kamar dan ruangan-ruangan kecil di
perkampungan bani Najjar di sekeliling Masjid nabawi. Kediaman
Rasulullah merupakan sumber cahaya ilahi dan mata air kenabian. Tetapi,
dia tidak memiliki lentera duniawi. Rumah Rasulullah tidak memiliki
lampu penerang. Aisyah mengisahkan, “Pernah selama empat puluh malam
pada masa Rasulullah, rumah beliau tidak diterangi oleh lentera atau apa
pun yang sejenisnya.” (HR Thayalisi dan Ishaq bin Rahawaih)
Pada
awalnya, Aisyah hanya tinggal berdua bersama Rasulullah. Lalu Asiyah
membeli seorang budak perempuan bernama Barirah dengan syarat agar
perwalian budak itu berada di tangannya. Saat itu, istri Rasulullah
hanyalah Saudah dan Aisyah. Maka, beliau selalu tinggal di rumah Aisyah
sekali setiap dua malam, bergantian dengan Saudah. Ketika rasulullah
akhirnya memiliki banyak istri, Saudah telah semakin tua. Ia pun
meyerahkan hari gilirannya untuk diambil oleh Aisyah. Maka dalam
Sembilan hari, Rasulullah tinggal bersama Aisyah selama dua hari—hari
gilirannya sendiri ditambah hari giliran Saudah. (HR Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud)
Rasulullah
bersama istri-istrinya tidak terlalu memedulikan kenyamanan rumah
mereka dan tidak membutuhkan kenikmatan lahiriyah. Sangat jarang api
dinyalakan di rumah Rasulullah.
---
Aisyah
adalah salah seorang yang paling dicintai oleh Rasulullah. Para sahabat
mengetahui dan mengakui hal tersebut. Jika mereka ingin memberikan
sesuatu kepada Rasulullah, maka mereka akan memilih hari ketika beliau
sedang bersama Aisyah. Rasa cinta Rasulullah kepada Aisyah membuat
istri-istri beliau yang lain cemburu—sesuatu yang wajar dalam kehidupan
berumah tangga. Suatu hari mereka mengutus Fatimah untuk menemui
Rasulullah dan mengadukan kecemburuan mereka. Memenuhi permintaan itu,
Fatimah menemui Rasulullah dan berkata, “Istri-istri ayah meminta ayah
untuk berbuat adil dalam urusan Aisyah.”
“Wahai Fatimah, putriku, tidakkah engkau mencintai apa yang kucintai?” ujar Rasulullah.
Maka
Fatimah pun kembali menemui para istri Rasulullah dan menyampaikan apa
yang disampaikan oleh ayahnya. Ketika mereka meminta Fatimah untuk
sekali lagi menyampaikan tuntunan mereka tentang Aisyah, Fatimah pun
menolak. (HR Bukhari)
Meski
dilanda rasa cemburu, istri-istri Rasulullah yang lain mengakui bahwa
Aisyah layak memperoleh cinta beliau. Mereka sadar bahwa pengetahuan
Aisyah tentang rahasia-rahasia Nabi jauh lebih kuat dan lebih mendalam
dibandingkan dengan pengetahuan mereka.
Aisyah tidak hanya
mencintai Rasulullah, dia juga selalu merindukan dan mengagumi beliau
sepenuh hati. Cinta Aisyah kepada Rasulullah adalah cinta seorang
perempuan muslim kepada Nabinya, cinta seorang istri kepada suaminya,
serta cinta seorang perempuan kepada seorang laki-laki. Aisyah juga
layaknya wanita biasa yang kadang dipenuhi rasa cemburu yang hebat
kepada istri-istri Rasulullah yang lain dalam memperebutkan cinta dan
perhatian Rasulullah. Sebuah perasaan yang timbul dari naluri
kewanitannya. Allah telah menjadikan kehidupan Rasulullah sebagai
teladan sempurna bagi semua seluruh umat manusia. Beliau adalah suami
terbaik yang selalu bersikap lemah lembut kepada istri dan keluarganya.
Beliau tidak pernah bersikap keras kepada mereka. Ketika salah seorang
dari istrinya marah, beliau justru berusaha meredakan kemarahannya.
Kala
itu adalah tahun kesebelah hijriah. Usia Aisyah memasuki usia kedelapan
belas. Ia sangat menikmati kehidupan berumah tangga bersama Rasulullah
dalam suasana cinta, kasih sayang, dan kesetiaan di sepanjang waktu dan
kesempatan. Suatu hari di bulan Shafar, tahun kesebelas Hijriah,
Rasulullah mendatangi Aisyah dan mengeluhkan rasa sakit di kepalanya.
Semakin lama, semakin berat rasa sakit yang diderita Rasulullah. Akan
tetapi, beliau tetap berkeliling menunaikan giliran kunjungan terhadap
istri-istri beliau. Ketika rasa sakit itu tak tertahankan, Rasulullah
selalu bertanya dimana beliau tinggal hari ini dan di mana beliau akan
tinggal esok hari, seakan-akan beliau tidak sabar menunggu giliran untuk
bersama Aisyah. Oleh karena itu, istri-istri beliau mengizinkan
Rasulullah untuk dirawat di mana pun beliau suka. Kemudian beliau
memilih dirawat di rumah Aisyah hingga akhirnya beliau wafat di tempat
Aisyah (HR Bukhari dan Muslim)
Ulasan
yang lengkap dan mendalam tentang sosok Aisyah dikupas tuntas dalam
buku Aisyah; The True Beauty karya Sulaiman an-Nadawi yang telah
diterjemahkan dan diterbitkan oleh Penerbit Pena Pundi Aksara.
Penulisnya menuliskan kisah kehidupan Aisyah dengan apik dan cermat
dalam menggambarkan sosok Aisyah dengan memasukkan hadits-hadits yang
menguatkan. Sulaiman an-Nadawi adalah seorang ulama yang dilahirkan di
India dan masih memiliki garis keturunan dengan Ali bin Abu Thalib,
baik dari pihak ayah maupun ibunya. Selain mendalami ilmu hadits, dia
juga mendalami ilmu kalam, tafsir, fiqih, dan sejarah. Cakupan dari isi
buku, yaitu membahas tentang masa kecil Aisyah, serba-serbi pernikahan
Aisyah dengan Rasulullah, kehidupan rumah tangga Aisyah selama
mendampingi Rasulullah, hikmah yang didapat Aisyah dari poligami sang
suami, Aisyah sepeninggal Rasulullah, karakter dan keistimewaan Aisyah,
penguasaan Aisyah atas ilmu-ilmu yang terkandung dalam Al-Qur`an,
hadits, dan syariat, Aisyah sebagai salah satu sumber ilmu, Jasa Aisyah
kepada kaum perempuan. [mirna]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar